Langsung ke konten utama

Candi Borobudur ~ Angkor Wat, warisan budaya bangsa

Siapa yang tidak tahu candi Borobudur? Sebagai putra bangsa, saya merasa sangat bangga memiliki warisan budaya berupa mahakarya yang sangat mengagumkan ini. Sering saya berpikir, bagaimana mungkin batu-batuan sebesar dan sebanyak itu dipahat dan diatur sedemikian rupa hingga bisa mengunci satu sama lain. Dibangun dengan teknologi yang masih sangat kuno, tanpa semen, tanpa alat-alat modern seperti sekarang, candi Borobudur telah mampu berdiri dan menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Dulu saat saya masih SD, candi Borobudur juga termasuk sebagai salah satu dari 7 keajaiban dunia. Sungguh luar biasa.

Jika kita mempunyai candi Borobudur, negara tetangga kita Kamboja mempunyai Angkor Wat sebagai warisan kebanggaan bangsanya. Angkor Wat adalah salah satu dari banyak candi yang ada di kawasan Yasodharapura, sebuah kawasan peninggalan sejarah di wilayah Siem Reap. Angkor berasal dari bahasa Sansekerta nokor yang berarti ibukota atau negara, sedangkan Wat berasal dari bahasa Khmer yang berarti kuil/candi. Nama modern Angkor Wat, berarti "Kuil Kota".


Ada yang menarik pada kedua candi tersebut. Meski berada di negara yang berbeda, model relief yang terdapat di Angkor Wat ternyata memiliki banyak kesamaan dengan yang terdapat di candi Borobudur. Model relief di candi Borobudur dan Angkor Wat adalah salah satu dari sekian banyak contoh yang menunjukkan bahwa kebudayaan Indonesia dan Kamboja memang mempunyai kemiripan. Kita juga dapat melihat kemiripan-kemiripan dalam hal yang lain, misalnya wajah penduduk asli, suasana alam, cuaca, flora dan faunanya. Saya pikir, secara fisik orang Indonesia mungkin tidak akan merasa berada di luar negeri ketika berada di Kamboja. Bahkan jika diperhatikan, banyak kostum penari tradisional Kamboja juga mirip dengan kostum tarian Bali. Hubungan historis yang erat antara Indonesia dan Kamboja di masa lalu yaitu di masa berkembangnya kerajaan-kerajaan di Indonesia dan Kamboja adalah penyebab munculnya kemiripan-kemiripan tersebut. Perdagangan sebagai roda penggerak ekonomi menjadi sarana berlangsungnya interaksi antar kerajaan waktu itu.

 

Berada dalam satu wilayah regional Asia Tenggara, Kamboja memiliki banyak kemiripan dengan Indonesia. Begitu pula fakta yang terjadi dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Thailand, Vietnam, Laos, dan Malaysia. Fisik orang-orang Thailand tidak terlalu berbeda dengan masyarakat Palembang. Rumah panggung dengan kolam ikan, dan sedikit ayam atau bebek yang dipelihara di dekat rumah, serta cara hidupnya pun tidak jauh berbeda.
Contoh lain yang bersifat intangible (tidak terlihat) misalnya kemiripan bahasa Indonesia dan Malaysia, atau kemiripan bahasa Minahasa (Sulawesi Utara) dengan Filipina.

Adanya kemiripan budaya di negara-negara Asia Tenggara tersebut menunjukkan bahwa kita adalah negara-negara serumpun. Sebagai negara serumpun, negara-negara di ASEAN tidak berbeda jauh satu sama lain karena merupakan satu keluarga.
Sebelum terbentuk ASEAN pun, sebenarnya hubungan antara negara-negara sudah terjalin dengan erat. Walaupun beberapa kisah di masa lalu ada ketegangan, namun fakta itu tidak menutupi bahwa sejak masa lalu sudah ada upaya persahabatan antar negara di kawasan Asia Tenggara.

Warisan budaya ASEAN yang indah dan penuh nilai spiritual dan estetika yang tinggi harus dilestarikan sebagai budaya kawasan, bukan untuk saling meniadakan. Seperti candi Borobudur dan Angkor Wat, yang perlu dirawat sehingga justru dapat menjadi ajang promosi kebudayaan dan menarik banyak wisatawan di luar kawasan karena kemiripannya. Kebudayaan yang dimiliki oleh negara-negara di kawasan ASEAN, hendaknya mampu menjadi sarana untuk semakin mempererat rasa persaudaraan dan kesatuan.

Perbedaan dalam banyak hal di antara negara-negara ASEAN pasti ada, namun dari sudut sosial budaya adanya kesamaan dan interaksi antar penduduk ASEAN adalah dasar kuat untuk membentuk masyarakat ASEAN. Dukungan masyarakat ASEAN akan semakin meningkat dengan semakin intensifnya interaksi, misalnya melalui seni dan pariwisata. Pada gilirannya nanti, hal inilah yang akan mendukung terciptanya Masyarakat Ekonomi dan Politik Keamanan ASEAN, seperti yang diharapkan dalam Komunitas ASEAN 2015.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watukodok dan OLI

Jogja mempunyai begitu banyak tempat wisata, termasuk wisata pantai. Kalau ditanya, pantai apa saja yang Anda tahu di kota pelajar ini? Pasti kata pertama adalah Parangtritis. Ya, memang tidak salah karena Parangtritis memang pantai yang cukup terkenal di sana. Mungkin ada juga yang menyebutkan pantai Depok, Baron, Kukup, Drini, atau Indrayanti. Empat yang disebut terakhir adalah beberapa pantai indah dari sekian banyak pantai di Gunungkidul. Kali ini saya akan mencoba berbagi tentang sesuatu yang menarik di antara pantai-pantai indah itu, di mana 29 Juni 2014 yang lalu saya berkesempatan berkunjung ke sana. Berangkat dari Jogja, mbah Cokro “setres”, mengantar kami menuju pesisir selatan Gunungkidul.  Kami melewati perbukitan yang penuh tanjakan dan turunan tajam, serta kelokan-kelokan yang sepertinya tak ada habisnya. Persis di bukit Patuk, di sisi sebelah kanan jalan tampak view Jogja dari atas. Barisan rumah penduduk, persawahan, pepohonan, jalan-jal...

Hidroponik trial 300520, 030620, 070620, 160620

Sekedar untuk menyimpan. Ini adalah dokumentasi foto-foto hidroponik yang diambil di Mei-Juni 2020. Beberapa tanaman masih trial awal, jadi hasilnya belum memuaskan.  Maaf jika tampilannya masih belum rapi. No. 1-7 = Foto 300520, 030620, 070620, 160620 secara berurutan. 1. Sawi Samhong, masih trial, awalnya kurang cahaya matahari.        2. Sawi (kalau tidak salah), masih trial, awalnya kurang cahaya matahari.       3. Pakchoy & sawi (mix)     4. Pakchoy     5. Pakchoy   6.     (- belum difoto lagi) (-sudah dipanen) 7.   (blm difoto lagi)    (- sudah dipanen) 8. Foto hidroponik 070620, 160620 = A.    B.     C.  (pindah tanam 1 Juni 2020) D.  (pindah tanam 6 Juni 2020) E.       (ini adalah sisa-sisa trial yang belum berhasil ter...

Begini cara membuat tablet

Hey friends... Kali ini saya akan berbagi sedikit ilmu tentang cara membuat tablet. Ya, tablet. Tapi tolong jangan dulu berpikir tentang prosesor, RAM, memori intenal, resolusi kamera, dimensi layar, dsb. Singkirkan segala yang berhubungan dengan gadget karena yang akan saya bicarakan di sini adalah tablet yang biasa kita minum kalau sedang sakit. Pada umumnya, sebagian besar tablet mengandung lebih sedikit bahan aktif jika dibandingkan bahan penolongnya (baca: eksipien). Sebagai contoh, misalnya tablet CTM 4 mg dibuat menjadi tablet dengan bobot total 1 0 0 mg. Mengapa begitu? Volume 4 mg CTM itu sangat kecil, kira-kira hanya ½ dari sebutir beras. Bisa dibayangkan, bagaimana cara mencetak serbuk sesedikit itu. Oleh karena itu lah ditambahkan eksipien agar jumlahnya mencukupi untuk bisa dicetak. Di sini kita akan menggunakan salah satu metode pembuatan tablet dengan cara granulasi basah. Apakah itu? Secara sederhana, granulasi adalah proses untuk menghasilkan granu...