Bila kuingat dulu aku
sering memanggilmu saat pagi, saat aku bangun pagi. Sekali memanggil
tak ada jawaban. Dua kali memanggil, tetap tak menyahut. Makin keras
aku memanggil, bahkan merengek sambil menangis, namun malah bukan kau
yang datang. Aku hanya ingin kau membawaku bersamamu dalam pelukan
dan gendonganku. Aku tak perlu apa-apa, karena itu sudah sangat cukup
membuatku nyaman dan tertawa pagi itu. Begitulah terjadi hampir
setiap hari aku memanggilmu. Aku tahu kau tak kan datang, karena
telah begitu sibuk sedari kau bangun pagi, tetapi entah kenapa aku
tetap memanggilmu. Aaahh..namanya juga anak-anak.
Kata nenek, dulu aku
pernah menangis begitu keras dan lama..bahkan selama perjalanan
pulang dari Yogya ke rumah yang waktu itu perlu kira-kira satu jam
lamanya. Dibujuk seperti apapun aku tak mau berhenti menangis. Baru
setelah sampai di rumah, tangisku reda dengan sendirinya.
Aku tak ingat bagaimana
kau mengajariku memegang piring dan sendok, bahkan membayangkannya
pun aku tak bisa. Aku tak bisa mengingat bagaimana kau mengajariku
hal-hal kecil supaya bisa melakukan semuanya sendiri.
Aku pun tak ingat bahwa
ternyata kau pernah memakaikanku setelan yang menurutku ternyata
cukup keren ya untuk dipakai bergaya sambil memegang mainan senapan
di samping motor warna merah tua yang sudah kuno itu. Ternyata kita
pernah punya motor seperti itu ya. Kalau bapak tidak memberitahuku,
mungkin aku juga tak tahu kalau aku lah gambar di foto yang aku
tunjuk itu.
Di lain waktu, saat bapak
sibuk bekerja dan tak ada orang di rumah, terpaksa kau mengajakku
ikut ke sekolah bersamamu. Kadang bapak menyempatkan diri untuk
mengantar kita sebelum ia berangkat, jadi kita harus siap-siap lebih
pagi. Maafkan aku jika dulu aku agak susah diatur dan merepotkanmu,
padahal aku juga tahu, sebenarnya kau harus masuk jam 7 pagi seperti
kebanyakan orang bekerja lainnya. Tapi tahukah kau jika sebenarnya
aku sangat senang setiap kali kau mengajakku ke sekolah. Mungkin
karena tidak setiap hari kali ya? Atau karena aku bisa bermain di
sekolah? Atau mungkin juga karena ngobrol dengan tukang kebun di
sekolah yang kupikir bisa jadi teman saat aku belum boleh sekolah
waktu itu. Tentu saja, aku juga aku senang karena aku bisa makan
makanan kecil di warungnya. Mana mungkin di rumah ada makanan kecil
begitu banyak seperti di sana. Ya kan?
Aku tahu ekonomi kita tak
begitu bagus, jadi aku tak berani merengek minta mainan, apalagi jika
harganya mahal. Aku ingat dulu ingin punya mainan kereta api, lengkap
dengan relnya yang panjang, dan tampaknya menarik sekali. Aku hanya
berharap suatu saat nanti aku bisa meminjam atau sekedar memegang
mainan punya teman atau saudara jauh yang pulang saat liburan
sekolah. Masa liburan sekolah adalah masa yang selalu kutunggu karena
aku bisa bermain dengan mereka.
Di awal masa sekolah,
kadang kala aku tak begitu peduli dengan belajar. Hingga suatu ketika
nilai ulangan matematikaku jelek, hanya dapat 4, lalu kau kesal
padaku. Aku hanya berkilah, masih ada yang lebih jelek nilainya
daripada aku. Meski kesal, kau tak memarahiku habis-habisan, tetapi
malah mengajariku sampai aku bisa, seperti yang kau harapkan. Tentu
saja aku menjadi senang dan lebih bersemangat untuk sekolah.
Engkau tahu aku punya
amandel yang rentan dengan cuaca atau makanan dingin. Karena itu kau
selalu melarangku untuk minum es, ataupun jajanan yang kurang sehat
lainnya. Aku terpaksa menurut saja, meski dalam hati aku sangat
menginginkannya. Karena amandel itu pula, kau mengantarku setiap hari
Rabu untuk diterapi pijat di Yogya selama hampir 1 tahun. Pasti
melelahkan rasanya, meski kau duduk di belakang motor sambil
memegangku yang kadangkala mengantuk atau bahkan malah tertidur.
Aku juga ingat kalau dulu
aku sering sakit demam dan tak masuk sekolah. Kadang kala kau pun
jadi ikut tak berangkat kerja, hanya untuk merawatku di rumah.
Biasanya kau akan mengajakku ke toko untuk beli makanan yang aku
suka, dan juga membeli susu supaya aku cepat sembuh. Sering aku
berharap akan mendapatkan hadiah saat kita membuka kemasannya. Tentu
hadiah yang kumaksud hanyalah sekedar mainan, dan kadang memang aku
mendapatkannya. Itu sudah cukup membuatku bahagia.
Lama sudah waktu
berlalu..namun terasa seperti baru kemarin.
Kini kalau aku bangun
pagi, aku tak memanggilmu seperti dulu. Aku juga tak pernah lagi ikut
ke sekolah bersamamu, dan tak pernah lagi ingin mainan seperti dulu
lagi. Kalau dulu kau menyuruhku belajar, kini aku harus bisa belajar
sendiri tanpamu. Kini aku sudah bisa menghasilkan uang dan aku
ingin kau pun tahu dan aku ingin kau bahagia. Aaaaahh, seandainya
saja kau masih ada di sini. Aku pasti akan mengajakmu berjalan-jalan
dan bercerita tentang apa yang telah kita lalui bersama.
Tetapi aku sadar, kini
kau tak lagi di sini. Bagaimana sekarang kabarmu di sana ? Aku tak
tahu karena kau tak pernah memberitahuku, meski aku kadang
memanggilmu seperti dulu, hanya saja sekarang aku melakukannya dalam
sepi. Semoga Tuhan selalu memberikan tempat yang baik untukmu di sana
dan semoga kau bahagia. Aku bersyukur, karena Tuhan telah memberiku
kesempatan untuk menikmati banyak waktu bersamamu dan aku bahagia.
Terimakasih ibu. Aku ingin kau tahu bahwa aku sungguh mencintaimu.
“Hai angin!!!
Mengapa kau masih di sini ? Tak bosankah kau berputar-putar sejak
tadi? Lebih baik kau pergi sejenak dan membawakan pesanku untuknya.
Lagipula kurasa kau sudah mendengarkanku sejak tadi. Setelah itu, kau
bisa kembali lagi ke sini.”

Komentar